![]() |
Diskusi bertajuk Revisi KUHP dan Ancaman Pidana: Ruang Baru Abus of Power yang digelar Ikatan Wartawan Hukum di Jakarta, Jumat (2/5). Dok/file:(MI) |
Jakarta,(Exclusive Network) – Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, Pujiyono Suwadi, menilai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang saat ini tengah dibahas di DPR belum menunjukkan arah perubahan sistem peradilan pidana yang mendasar. Ia menyatakan bahwa pembaruan yang dilakukan masih bersifat parsial dan belum mencerminkan pergeseran paradigma hukum acara pidana.
"Dari draf RKUHAP yang saya pelajari, baik versi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari DPR maupun pemerintah, saya belum melihat adanya gagasan yang secara utuh mereformasi sistem. Rancangan ini belum sepenuhnya mengarah pada pembentukan KUHP baru yang menjawab kebutuhan sistem hukum modern," ujar Pujiyono dalam diskusi bertajuk "Revisi KUHAP dan Ancaman Pidana: Ruang Baru Abuse of Power", yang diselenggarakan oleh Ikatan Wartawan Hukum di Jakarta, Jumat (2/5).
Ia menyoroti bahwa KUHAP yang berlaku saat ini merupakan produk hukum tahun 1981 yang masih banyak mengadopsi sistem warisan kolonial Belanda. Dengan disahkannya KUHAP baru yang akan mulai berlaku pada 2026 dan mengusung paradigma pemidanaan yang korektif, rehabilitatif, dan restoratif, Pujiyono menilai semestinya RKUHAP juga dirancang sejalan dengan semangat reformasi tersebut.
"KUHP adalah ruh dari proses penegakan hukum pidana. Jika KUHAP sudah berubah, maka KUHAP sebagai alat pelaksanaannya juga harus menyesuaikan agar tidak terjadi ketimpangan," jelasnya.
Lebih lanjut, Pujiyono menekankan pentingnya penerapan prinsip due process of law atau proses hukum yang adil dalam setiap tahap penegakan hukum. Menurutnya, setiap proses hukum harus dapat dikritisi dan diuji, serta memberikan perlindungan tidak hanya kepada korban, tetapi juga kepada saksi, tersangka, hingga terdakwa.
Ia juga menyoroti RKUHAP yang dibahas saat ini baru sekadar menjawab persoalan-persoalan hukum di lapangan, tapi tidak mendasar. Salah satunya adalah masalah relasi antara penyidik dan penuntut umum yang kerap berujung pada bolak-balik berkas perkara karena dianggap belum lengkap.
"Persoalan relasi antara penyidik dan penuntut umum ini adalah contoh bahwa RKUHP masih berkutat pada masalah teknis, bukan perubahan paradigma. Padahal, hal ini sangat berdampak pada kecepatan dan keadilan dalam proses penegakan hukum," pungkasnya.
Pelaporan oleh Eman Supriyadi; Pelaporan tambahan dari Humas Komisi Kejaksaan RI; Penulisan oleh Andriyanto; Penyuntingan oleh Tim Redaksi Exclusive Network