Murung Raya, (Exclusive Network) – Ketegangan antara PT Saptaindra Sejati (SIS), subkontraktor PT Adaro Minerals Indonesia (AMI), dengan warga Muara Tuhup, Kecamatan Laung Tuhup, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, terkait pengelolaan jasa transportasi karyawan cuti, terus berlanjut. Masyarakat lokal yang tergabung dalam kelompok pelaku usaha jasa transportasi menuntut akses kerja yang adil, mengkritik dugaan monopoli vendor luar, dan menyuarakan hak mereka atas pemberdayaan ekonomi di wilayah sendiri, Selasa (3/6/2025).
Ketegangan ini telah mengundang perhatian serius dari Pemerintah Daerah. Dilansir dari beberapa media lokal Bupati Murung Raya, Heriyus, secara tegas menyatakan bahwa PT SIS harus memberi ruang yang adil kepada masyarakat lokal.
“Meski mereka (PT SIS) sudah berkontrak dengan salah satu vendor di Muara Teweh, untuk asas keadilan, masyarakat Muara Tuhup tetap harus diberdayakan. Saya minta jatah pengantaran dan penjemputan dibagi dua, dengan tetap memenuhi ketentuan yang disepakati,” tegas Heriyus dalam pernyataannya di Kantor DPRD Murung Raya, dikutip rakyatkalteng.com, Senin (28/4/2025)
Bupati Heriyus juga mengungkapkan bahwa Pihak pemerintah telah beberapa kali berkomunikasi dengan manajemen PT SIS terkait hal ini, namun belum tercapai solusi konkret. Ia menekankan pentingnya keadilan dalam pembagian kesempatan kerja untuk menjaga kondusifitas di wilayah lingkar tambang.
Senada dengan Bupati, Ketua DPRD Murung Raya, Rumiadi, S.E., S.H., M.H., dikatakan dalam pemberitaan media lokal juga menyerukan agar permasalahan tersebut segera diselesaikan secara adil. Rumiadi menyoroti bahwa pertemuan antara warga dan perusahaan telah berlangsung tujuh kali tanpa titik temu.
“Saya minta polemik ini tidak berlarut-larut. Jangan sampai timbul masalah baru yang merugikan masyarakat maupun perusahaan,”ujar Rumiadi dikutip rakyatkalteng.com (25/4/2025). “Perusahaan harus memberikan solusi konkret dan membuka ruang partisipasi warga lokal.”Tambahnya.
Suara Warga: "Tanah Kami, Hak Kami"
Protes warga Muara Tuhup bukan sekadar permintaan kerja, tetapi suara perlawanan terhadap apa yang mereka anggap sebagai bentuk ketidakadilan sistemik. Wahyudi dan rekan-rekan (masyarakat lokal), menilai bahwa keberadaan tambang telah menimbulkan dampak langsung yang tidak diimbangi dengan pemberdayaan yang adil.
“Kami sebagai masyarakat lokal asli pribumi menuntut hak kami sebagai warga terdampak di Ring satu. Jangan jadikan janji pemberdayaan lokal sebagai jargon kosong di baliho CSR,” tegas Wahyudi.
![]() |
Perwakilan masyarakat Muara Tuhup, Wahyudi dan Hendra Setiawan dalam sesi wawancara dengan Tim Investigasi Info X Jurnalisme Data, Senin (2/6/2025). |
Masyarakat lokal menilai bahwa PT SIS diduga telah menerapkan syarat teknis diskriminatif, seperti ketentuan kendaraan produksi tahun 2023 ke atas, dan minimal 21 Unit dengan atas nama CV perusahaan, yang mana hal tersebut menghambat dan menyulitkan pelibatan pelaku usaha lokal.
Vendor luar justru diduga mendapat perlakuan lebih longgar. Hal tersebut dikuatkan oleh beberapa temuan data fakta oleh Tim Investigasi Info X Jurnalisme Data berdasarkan temuan dilapangan bahwa daftar Kontrak PT SIS dengan Vendor sebelumnya yang sudah berjalan bahwa dengan syarat minimal 4 kendaraan semua rata-rata tahun 2022 dan hanya 1 unit di tahun 2023. menandakan dugaan kuat potensi praktik monopoli usaha dan diskriminasi kerja, yang berlawanan dengan prinsip-prinsip Undang-Undang.
Analisis Hukum dan Sosial
Dari perspektif hukum, tindakan PT SIS yang diduga tidak melibatkan pelaku usaha lokal dan menetapkan persyaratan teknis yang memberatkan dapat dianggap bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mewajibkan perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial (CSR). Namun, fakta berdasarkan temuan dilapangan yang ditemukan oleh Tim Investigasi Info X Jurnalisme data menurut pengakuan banyak warga setempat menunjukkan bahwa program CSR yang dijalankan oleh PT SIS diduga cenderung bersifat simbolis dan tidak menyentuh secara menyeluruh di aspek produktif seperti lapangan kerja atau pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar tambang (Lokal).
Selain itu, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa setiap warga negara berhak atas kesempatan kerja tanpa diskriminasi. Persyaratan teknis yang ditetapkan PT SIS, seperti keharusan kendaraan berusia minimal tahun 2023, harus atas nama badan usaha (CV) dan minimal 21 Unit dapat dianggap sebagai bentuk dugaan diskriminasi yang menyulitkan pelibatan pelaku usaha lokal.
Praktik dugaan monopoli usaha juga menjadi sorotan dalam kasus ini. UU No. 5 Tahun 1999 melarang praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. PT SIS diduga melakukan penunjukan vendor pengangkutan secara tertutup dari luar daerah, tanpa proses terbuka atau partisipasi pelaku lokal, yang dapat mengarah pada dugaan monopoli dan menutup ruang usaha masyarakat lokal.
Lebih lanjut, UU No. 3 Tahun 2020 Perubahan terhadap UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba:
1. Pasal 96C – Kewajiban Mengutamakan Lokal. (Pemegang IUP dan IUPK wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja lokal, barang, dan/atau jasa lokal). Sehingga, mewajibkan perusahaan tambang untuk mengutamakan tenaga kerja, barang, dan jasa lokal. Namun, PT SIS diduga tidak menunjukkan upaya konkret dalam mengutamakan tenaga kerja dan vendor lokal, yang bertentangan dengan semangat pemberdayaan masyarakat sebagaimana diatur dalam UU Minerba.
2. Pasal 139A – Peran Pemda dan Penggunaan Lokal. (Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong peningkatan penggunaan tenaga kerja, barang, dan jasa dalam negeri dalam kegiatan usaha pertambangan). Pasal ini mewajibkan pemerintah dan pemda mendorong penggunaan lokal termasuk UMKM dan vendor lokal dalam tambang. Tetapi PT SIS dinilai oleh masyarakat lokal diduga tidak mendukung kebijakan nasional dan daerah, karena vendor luar didahulukan tanpa transparansi. Ini bisa jadi indikator pembangkangan terhadap arah kebijakan nasional.
3. Pasal 35 dan Pasal 93–94
Pasal ini menyebut bahwa semua kegiatan operasi produksi pertambangan wajib dilaksanakan dengan prinsip tata kelola yang baik, termasuk pemberdayaan masyarakat dan keberlanjutan sosial ekonomi. Sehingga, Program CSR yang simbolis dan tidak menyentuh aspek produktif masyarakat dianggap tidak sejalan dengan prinsip tata kelola pertambangan yang baik.
Terjadi ketimpangan sosial dan ekonomi di sekitar wilayah operasi tambang, bertentangan dengan semangat pembangunan berkelanjutan. Karena ketiga pasal ini membahas prinsip tata kelola pertambangan yang baik, termasuk pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi lokal.
Catatan Yuridis Penting :
• Konstruksi Hukum Kontraktor vs IUP
1. Walau UU menyebut “pemegang IUP”, praktek di Indonesia mengakui kontraktor sebagai pelaksana langsung yang wajib tunduk pada regulasi tambang — termasuk aspek sosial, lingkungan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
2. Hal ini dipertegas dalam sejumlah putusan pengadilan dan regulasi turunan, misalnya dalam:
• PP No. 96 Tahun 2021 (tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara)
• Permen ESDM No. 25 Tahun 2018 (tentang Pengusahaan Pertambangan Minerba)
3. Keduanya menyebut bahwa seluruh pihak yang melakukan kegiatan tambang secara fisik (termasuk kontraktor) tunduk pada kewajiban sosial dan teknis tambang, termasuk TKDN (tingkat komponen dalam negeri) dan pemberdayaan masyarakat lokal.
Kasus-kasus yang pernah terjadi dan memiliki kemiripan fakta atau substansi hukum, sebagai preseden atau pembanding :
A. Yurisprudensi / Studi Kasus Serupa, contoh Studi Kasus :
1. PT Tambang Mas Sangihe
Kasus: Izin pertambangan emas di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, oleh PT Tambang Mas Sangihe (TMS) ditolak oleh masyarakat dan LSM.
2. Inti persoalan:
• Minimnya pelibatan masyarakat lokal.
• Dugaan pelanggaran terhadap hak hidup dan lingkungan.
3. Putusan: PTUN Jakarta membatalkan izin usaha PT TMS karena dianggap bertentangan dengan prinsip tata kelola lingkungan dan keterlibatan masyarakat.
4. Relevansi: Menguatkan bahwa masyarakat lokal berhak menolak kegiatan tambang jika prinsip keberlanjutan dan keterbukaan dilanggar.
Sumber: Putusan PTUN Jakarta Nomor 57/G/LH/2022/PTUN.JKT
B. Kasus PT Freeport Indonesia – Papua
• Masalah: Freeport banyak menggunakan kontraktor dari luar Papua, memicu kritik soal diskriminasi terhadap pekerja dan pengusaha lokal.
• Tanggapan: Pemerintah daerah Papua mengeluarkan affirmative policy yang mewajibkan kontraktor memprioritaskan tenaga kerja dan vendor lokal.
• Relevansi: Memberi contoh konkret bahwa ketimpangan dalam partisipasi lokal bisa dikoreksi melalui kebijakan atau tekanan publik.
Sumber: Berita Kompas, Tempo, dan dokumen kebijakan Otonomi Khusus Papua.
Aspek HAM dan Keadilan Sosial
Hal tersebut, tidak hanya berdiri pada UU Minerba, tetapi dapat diperkuat secara konstitusional dan moral dengan HAM dan keadilan sosial
A. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Makna: Kegiatan pertambangan harus berpihak kepada rakyat, khususnya masyarakat lokal. Jika kegiatan tambang justru merugikan mereka (baik secara ekonomi maupun sosial), maka itu bertentangan dengan konstitusi.
B. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Pasal 9 ayat (1): Setiap orang berhak atas kehidupan, penghidupan, dan peningkatan kualitas hidupnya.
Pasal 36: Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Relevansi: Jika PT SIS tidak memberi ruang kepada masyarakat sekitar tambang untuk hidup secara layak dan berpartisipasi, maka itu dapat dianggap melanggar hak dasar masyarakat.
Langkah Hukum oleh Masyarakat
Masyarakat Muara Tuhup melalui kuasa hukumnya dari Ormas Gerbang Dayak menyatakan bahwa hingga kini belum ada respon konkret dari pihak perusahaan.
![]() |
Foto Ketua Ormas Gerbang Dayak DPC Murung Raya, Triono bersama dengan Ketua Gerbang Dayak DPAC Laung Tuhup, Sentuh Idaman. Dok/File Tim Investigasi Info X Jurnalime Data. |
DPC Gerbang Dayak Murung Raya Telah melayangkan somasi pertama kepada PT SIS dan akan melakukan aksi lapangan jika tidak ada tanggapan hingga batas 3 somasi.
"Jika somasi ini diabaikan, kami siap melanjutkan dengan somasi kedua dan ketiga, jika masih tidak direspons, maka akan kami lakukan aksi damai secara besar-besaran," ujar Triono Ketua DPC Gerbang Dayak Murung Raya.
Menurut Ketua DPC Gerbang Dayak Murung Raya, Triono, syarat yang diminta oleh PT SIS tersebut tidak hanya berat, tetapi juga cenderung diskriminatif. "Warga tidak mungkin bisa memenuhi syarat itu karena tidak semua pelaku usaha lokal memiliki modal besar" Tutupnya.
Warga setempat beserta Pemerintah Daerah menilai PT SIS diduga belum memberikan akses adil bagi pelaku usaha lokal dalam jasa transportasi. Hingga berita ini diturunkan, redaksi masih berupaya mendapatkan konfirmasi resmi dari pihak PT SIS.
Pelaporan oleh Bima Aditya; Pelaporan Tambahan oleh Tim Investigasi Info X Jurnalisme Data; Penulisan oleh Andriyanto; Penyuntingan oleh Eman Supriyadi